The Shutter Island

The Shutter Island – Di samping kemampuan acting yang jempolan dari aktor Leonardo DiCaprio, kekuatan lain dari film The Shutter Island ini terletak pada cerita yang disajikan sangat apik oleh Martin Scorcese. Tidak salah jika Piala Oscar disematkan pada film yang jika di Indonesia sebenarnya kalah populer ketimbang Avatars. Film tersebut mengambil setting tahun 1954, di tengah suasana perang dingin, ketika teori konspirasi berkuasa di mana-mana.

Diceritakan seorang US Marshall yang bernama Teddy Daniels (diperankan Leonardo DiCaprio) bersama rekannya bernama Chuck Aule (diperankan oleh Mark Rudallo) dikirim ke Shutter Island untuk menyelidiki hilangnya seorang pasien perempuan bernama Rachel Solando (Emily Mortimer) yang pernah menenggelamkan tiga orang anaknya hingga tewas. taruhan bola

Hilangnya pasien tersebut tergolong misterius karena dia menghilang begitu saja dari kamarnya yang terkunci dan mendapatkan pengawasan penuh selama 24 jam. Menurut keterangan kepala rumah sakit (head of psychiatrist) Dr. John Cawley (diperankan Ben Kingsley), Rachel ditetapkan berada di tempat tersebut setelah menenggelamkan tiga anaknya. sbobet365

The Shutter Island

Akan tetapi, hingga berada di sana, Rachel tetap percaya bahwa dia masih berada di rumahnya dan anak-anaknya masih hidup. Pencarian terhadap Rachel dilakukan hingga ke tebing-tebing yang sebenarnya mustahil bisa dijangkau oleh Rachel. Pada saat pencarian itu, Teddy melihat ada goa kecil dan sebuah mercusuar, namun dikatakan oleh pihak keamanan setempat bahwa di mercusuar tersebut telah dilakukan pencarian, namun Rachel masih juga tidak diketemukan. www.americannamedaycalendar.com

Penyelidikan pun dilanjutkan dengan melakukan investigasi pada petugas-petugas rumah sakit yang merawat Rachel. Permintaan Teddy untuk mendapatkan akses terhadap seluruh dokumen personalia rumah sakit ditolah oleh Dr. Cawley. Penolakan ini menyulut kemarahan Teddy yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri penyelidikan dan menulis laporan bahwa pihak rumah sakit menolak bekerjasama dengannya. Teddy memutuskan untuk keluar dari pulau tersebut keesokan harinya.

Rencana kepulangannya terhalang oleh badai yang menyebabkan ferry yang seharusnya mengangkut mereka keluar tidak akan mungkin mendarat ke pulau tersebut. Pada saat tertidur, Teddy mendapati mimpi yang aneh. Istrinya, Dolores, yang telah meninggal hadir dalam mimpi itu. Di dalam mimpinya, Dolores menyatakan bahwa Rachel masih ada di pulau itu, begitu juga dengan Andrew Laeddis, pria yang menyulut api hingga menyebabkan kematian istri dan anak-anak Teddy.

Selain itu, istrinya juga meminta Teddy untuk mengikhlaskan kepergiannya. “Aku hanyalah tulang dalam sebuah kotak,” ujar istrinya. Teddy mengaku sangat mencintai istrinya dan tidak bisa mengikhlaskan kepergiaannya. Mimpi inilah yang menyebabkan Teddy mengubah kembali rencananya. Kepada rekannya, Chuck, Teddy menyatakan selain karena badai yang tidak memungkinkan ada ferry yang merapat di pulau itu untuk beberapa saat, dia juga meyakini bahwa di pulau itu pulalah Andrew Leaddis berada. Teddy memulai pencarian baru yang sama sekali tidak dimengerti maksudnya oleh Chuck.

Khususnya ketika orang yang disebut dengan Rachel Solando ternyata sudah berhasil ditemukan oleh petugas rumah sakit. Pencarian inilah yang secara perlahan mengalihkan persoalan dari Rachel ke dalam diri Teddy sendiri. Perbincangan dengan Dolores, istrinya, yang datang dalam setiap mimpinya membawa Teddy masuk lebih dalam ke dalam persoalan-persoalan yang berada di Shutter Island tersebut. Teddy meyakini bahwa di pulau tersebut terdapat sebuah konspirasi yang dikendalikan oleh kepala rumah sakit yang hendak mengubah pulau tersebut seperti kamp konsentrasi yang dulu dikendalikan oleh Nazi.

Di dalam upayanya memecahkan misteri pulau tersebut, Teddy bertemu dengan George Noyce (diperankan Jackie Earle Haley), mantan rekannya di US Marshall, yang mengatakan bahwa adanya percobaan-percobaan terhadap orang-orang yang ada di pulau tersebut. George juga mengatakan bahwa seluruh “permainan” itu hanyalah untuk keuntungan Teddy dan dia mengaku sangat takut dibawa ke Mercusuar. Pertemuan dengan George semakin menebalkan keinginan Teddy untuk mencari tahu apa yang terjadi di Mercusuar, satu-satunya tempat di pulau itu yang belum bisa dia jelajahi. Pada saat itulah,

Teddy bertemu dengan Rachel Solando yang sebenarnya (diperankan Patricia Clarckson) yang bersembunyi dalam sebuah goa kecil di atas tebing. Dari situ, Teddy mengetahui bahwa Rachel Solando adalah salah seorang dokter yang lari karena menolak penggunaan psychotropic medication yang menurutnya digunakan untuk mengontrol pikiran dari pasien-pasien yang ada di RS tersebut. Pasien-pasien yang sudah dikontrol pikirannya itulah yang kemudian akan digunakan sebagai “sleepers agent” untuk kepentingan Perang Dingin.

Dia juga mengatakan bahwa Teddy telah “diracuni” sejak pertama kali masuk ke pulau tersebut. Hingga segmen ini, penonton seolah mulai mendapatkan titik-terang akan adanya misteri di pulau yang dihuni para pesakitan kejiwaan tersebut. Terlebih ketika adegan-adegan berikutnya menunjukkan bagaimana Teddy berusaha untuk mulai menentang upaya-upaya persuasi yang coba dilakukan petugas-petugas dan dokter-dokter di pulau itu. Teddy pun berhasil menjangkau Mercusuar yang berada di sebuah pulau karang kecil dekat pulau utama. Namun, Martin Scorsese selaku sutradara ternyata tidak begitu saja pikiran penonton bermain dengan logika sebagaimana dalam film-film misteri yang biasa ditonton.

Pada saat berada di Mercusuar itulah Martin Scorcese membuka tabir misteri yang sebenarnya. Diceritakan Teddy telah berhasil masuk ke Mercusuar dan mencari tempat-tempat yang menurut George dan Rachel menjadi tempat dilaksanakannya eksperimen manusia. Namun yang ditemui di Mercusuar itu justru Dr. John Cawley yang mengonfrontasi semua pengetahuan dan keyakinan-keyakinan Teddy. Dr. Cawley membenarkan kalau Teddy adalah US Marshall.

Dia juga mengatakan bahwa semua yang disampaikan Teddy hanyalah rekaannya sendiri. Teddy Daniels sebenarnya bukan Teddy Daniels, melainkan Andrew Leaddis. Artinya, tokoh yang selama ini dia cari-cari, yang telah membunuh anak dan istrinya, sebenarnya tidak lain dari dirinya sendiri. Rachel, perempuan yang menenggelamkan tiga orang anaknya, tidak lain dari istrinya sendiri yang pada akhirnya tewas ditembak oleh Teddy alias Andrew. Dan yang paling penting (setidaknya menurut saya), Teddy Daniels atau Andrew Leaddis adalah salah-seorang pasien di pulau tersebut. Keterangan Cawley diperkuat oleh Dr Sheehan, orang yang selama ini dia panggil Chuck Aule, rekannya sesame US Marshall.

Dalam keadaan ketika seluruh keyakinannya dikontrontir dengan omongan dan data-data yang disodorkan Dr. Cawley, ingatan Andrew pun kembali dan dia mulai berdamai dengan masa lalunya. Akan tetapi, hal itu tidak bertahan lama. Andrew kembali menjadi Teddy dan memaksa Cawley untuk melakukan operasi lobotomy—menghapuskan ingatan—Andrew melalui sebuah operasi otak. Sebelum operasi dilaksanakan Teddy alias Andrew bertanya kepada Dr. Sheehan yang masih dia panggil dengan sebutan “Chuck”, mana yang lebih buruk, hidup sebagai monster atau mati sebagai orang baik.

Tidak ada jawaban yang jelas pada saat ending. Film ditutup dengan gambaran tentang mercusuar. *** Bagi anda pembaca Michel Foucault, barangkali tidak terlalu sulit untuk memahami jalan cerita yang tertuang dalam film the Shutter Island. Film ini menceritakan tentang sebuah pulau kecil di tengah lautan yang menjadi karantina bagi narapidana-narapidana yang melakukan tindakan kriminal berat yang juga memiliki problem-problem kejiwaan yang tidak kalah berat.

Pulau tersebut adalah penjara sekaligus rumah-sakit, yang mana narapidana (prisoner) di dalamnya adalah juga pasien yang mendapatkan perawatan intensif untuk memulihkan kondisi kejiwaannya sehingga bisa kembali ke masyarakat. Meski saya bukan pembaca Foucault yang tekun, namun ketika menonton film ini, sungguh saya diingatkan kembali pada Discipline and Punish: The Birth of the Prison, buku ditulis Foucault yang terbit tahun 1975. Kaitan antara film ini dengan Foucault—sebatas pengetahuan saya yang seadanya—adalah konsepsi penjara yang tidak seperti penjara dalam pengertian konvensional sebagai tempat pemberian hukuman, bukan sebagai tempat pemasyarakatan.

The Shutter Island 1

Menurut Foucault, penjara adalah salah satu bentuk “disiplin”, sebuah teknologi kekuasaan baru, yang sebenarnya bisa ditemukan di sekolah, rumah sakit, barak-barak militer, dan tempat-tempat lainnya. Namun pembentukkan disiplin tersebut tidak selamanya bisa dilaksanakan dengan kekuasaan atau pemaksaan kekuasaan, melainkan dengan secara konstan melakukan penyelidikan dan merekam setiap badan yang hendak dibentuk serta dengan mendorong terjadinya proses internalisasi disiplin atas badan-badan yang tengah dikontrol.

Proses ini membutuhkan sebuah institusi yang khusus, yang menurut Foucault, dicontohkan dengan model penjara panoptic yang digagas oleh Jeremy Bentham pada abad ke-18. Uniknya, gambaran penjara seperti itu sempat terlihat saat adegan Andrew alias Teddy bertemu dengan George. Gagasan tentang bagaimana memberikan “kesempatan kedua” bagi mereka yang secara konvensional dikatakan sebagai kriminal inilah yang saya duga melatari Film yang diadaptasi dari Novel berjudul The Shutter Island ditulis Dennis Lehane yang terbit tahun 2003.

Saya ingin bicara lebih banyak tentang bagaimana pengaruh Foucault dalam film ini, namun sayangnya saya bukanlah pembaca Foucault yang baik. PS: Secara pribadi, saya tidak berani menyetujui gagasan Foucault tentang Panoptic Society sebagai gagasan ideal untuk masyarakat yang memiliki disiplin padu dan selaras dengan perkembangan ekonomi baru, sebab dalam berbagai pengalaman, gagasan ini bisa menjadi suatu konsepsi yang “mematikan”, ketika dalam penerapannya, konsepsi panoptik bisa membuat setiap individu selalu merasa diawasi, tertekan karena tidak bisa berbuat atau bahkan berpikir di luar perbuatan atau pakem pemikiran yang ditentukan.