The Godfather

The Godfather – Sebelum Black Panther dirayakan sebab politik representasi yang diusungnya, The Godfather lebih dulu hadir dengan konsep serupa.

Jika kisah Raja Wakanda tersebut menjadi film superhero pertama yang ditulis, dibintangi, dan disutradarai keturunan Afrika-Amerika; maka 46 tahun lalu The Godfather hadir sebagai representasi Italia-Amerika yang sutradara, penulis naskah, dan bintang utamanya keturunan ras tersebut.

Bagi Tom Santopietro yang adalah penulis buku dengan judul The Godfather Effect, film yang dirilis pada bulan 14 Maret 1972, tepat hari ini 46 tahun lalu, tersebut berhasil mengubah cara orang Italia-Amerika digambarkan dalam film. sbobet365

“Kurasa, film ini membantu meng-Itali-sasi budaya orang Amerika,” kata Santopietro dalam wawancaranya dengan Smithsonian, 2012 lalu. judi bola

The Godfather

Usia Santopietro masih 18 saat dia pertama kali menonton The Godfather di sebuah bioskop di Waterbury, Connecticut, kampung halamannya. Ia ingat, ibunya sempat protes dengan durasi film itu yang lama dengan alur lambat. Tapi, Santopietro dan ayahnya justru khusyuk terpikat. Baginya, The Godfather justru menjadi menarik sebab alur dan potongannya yang lambat. Sang bocah lalu tumbuh menjadi penggemar kelas berat film karya sutradara Francis Ford Coppola ini. https://americandreamdrivein.com/

“Hari ini, karena pengaruh video musik yang dimulai pada era ’80-an, semuanya serbacepat, dan mereka tidak akan membiarkan sebuah film dibuka dengan kecepatan (seperti The Godfather) ini,” kata Santopietro. “Dan itu adalah kerugian kita. Kita telah kehilangan kekayaan tokoh yang ditunjukkan dalam film The Godfather.”

Menyingkirkan Stereotip Imigran Italia

Film The Godfather memang satu dari sedikit film yang terus menerus diperbincangkan lintas generasi. Dia dirayakan media dan menghabiskannya sebagai film terbaik sepanjang zaman.

TIME memasukkannya ke dalam daftar 100 film terbaik yang pernah ada. Entertainment Weekly menempatkannya sebagai film terbaik nomor satu yang pernah dibikin. Majalah sinema Sight & Sound membuat poling yang diisi oleh para sutradara terkemuka yang menyebut film ini sebagai film terbaik kedua sepanjang masa.

American Film Institute ini juga menjadikan film The Godfather sebagai film terbaik kedua setelah Citizen Kane dalam sejarah sinema Amerika, karena sumbangan kultural, historis, dan estetikanya.

Salah satu sumbangan yang terbesar dari film The Godfather, “di samping pengambilan gambar dan suntingannya yang sangat indah,” menurut Santopietro adalah cara film ini mengemas kultur orang Italia-Amerika yang penuh stereotip sebagai imigran di negeri Paman Sam.

“Orang Italia-Amerika sangat sensitif tentang citra mereka dalam film, karena biasanya sangat negatif,” kata Santopietro pada Smithsonian.

Dia sebenarnya tidak suka stereotip cara bicara orang Italia-Amerika dalam The Godfather. “Macam mafia atau petani kecil yang talk-a like-a this-a,” ujarnya mencontohkan. “Tapi, saya cinta film ini.”

Film The Godfather memang bercerita mengenai mafia dan juga hidup gelap mereka, tapi ada nilai kekeluargaan yang kental terselip di sana—sebuah nilai yang menurut Santopietro memang ciri khas keluarga Italia.

Dia mencontohkan adegan Don Corleone (Marlon Brando) dan Michael Corleone (Al Pacino) saat di taman. Sang Godfather tengah menasihati calon penerusnya mengenai ancaman yang akan dihadapi dalam bisnis mereka. Ada transfer kekuasaan di sana—yang sebenarnya adalah hal mengerikan.

“Tapi, Anda tidak akan benar-benar ingat tentang apa sebenarnya adegan itu,” kata Santopietro. “Yang Anda ingat adalah seorang ayah yang mengekspresikan kasihnya pada putranya, dan vice versa.”

Film tersebut juga menyingkirkan stereotip mengenai imigran Italia yang tak berpendidikan dan bicara dengan aksen berat, tambah Santopietro. Karakter Michael, contohnya, diberi ruang yang adil oleh Cappolo. Dia dikembangkan sebagai anak yang dikirim kuliah dan mengejar pendidikan tanda bahwa imigran Italia di Amerika juga ikut jadi bagian dari “Dunia Baru”.

“Mereka memang mafia, akan tetapi yang sepenuhnya dikembangkan jadi manusia sebenarnya,” kata cucu dari seorang imigran Italia ini.

Karya yang Nyaris Tak Jadi

Naskah bagus tersebut tidak terlepas dari keputusan Paramount Pictures melempar proyek ini ke tangan Coppola dan Mario Puzo—dua orang keturunan Italia. Puzo ialah penulis asli naskah The Godfather yang lebih dulu diterbitkan sebagai novel pada 1969. Novel itu sukses masuk daftar The New York Times Best Seller selama 67 minggu dengan penjualan 9 juta kopi dalam dua tahun.

Paramount Pictures, lewat Presiden Produksi yang bernama Robert Evans, menawari Mario Puzo 12.500 dolar AS untuk Mafia, judul orisinal dari The Godfather. Tawarannya berubah menjadi 80.000 dolar AS jika naskah tersebut difilmkan. Upah tersebut terhitung kecil, akan tetapi Puzo menerimanya karena butuh 10.000 dolar untuk bayar utang judi.

Pada masa itu, Hollywood tengah dilanda krisis. Jumlah penonton sejak awal hingga akhir 1960-an terus turun, membuat produksi film juga ikut turun. Akan tetapi, larisnya novel Puzo membawa Paramount Pictures untuk serius menggarap naskah itu menjadi sebuah film. Awalnya cuma dengan bujet 2,5 juta dolar, tapi naik jadi 6 juta dolar seiring pamor novelnya yang kian meningkat.

Majalah Vanity Fair menulis laporan mengenai proses penggarapan film tersebut yang tidak mulus dalam sebuah artikel berjudul “The Godfather Wars”. Sebelum kursi sutradara resmi diduduki Coppola, Paramount Pictures menawarkan posisi itu ke sejumlah nama: Peter Bogdanovich, Peter Yates, Richard Brooks, Arthur Penn, Costa-Gavras, dan Otto Preminger. Sebagian nama besar itu dipilih karena dinilai bisa memberi sentuhan “etnis dari kultur Italia-Amerika”. Akan tetapi, semuanya menolak sebab tidak tertarik menggarap tema mafia.

Sergio Leone juga sempat ditawari, akan tetapi menolak sebab ingin menggarap film gangster-nya sendiri, Once Upon a Time in America.

Ketika Coppola telah resmi diumumkan jadi sutradara, proses produksi The Godfather juga sempat tertunda, karena ia tak senang dengan naskah asli Puzo. Akan tetapi sebab perusahaan filmnya, American Zoetrope, mempunyai utang 600 ribu dolar pada Warner Bros, akhirnya Coppola menerima tawaran itu dengan beberapa syarat. Salah satunya dengan merombak naskah asli.

Puzo dan juga Coppola lalu menulis naskah filmnya secara terpisah. Naskah finalnya rampung pada 29 Maret 1971.

Proses produksi itu kembali dirundung masalah ketika Coppola punya visi sendiri tentang para pemain—yang berbeda dengan gagasan dewan direksi Paramount Pictures. Coppola bersikeras untuk menggaet Marlon Brando, yang telah punya nama dan tarif tinggi. Dia juga membawa daftar lain: Al Pacino, James Caan, dan Robert Duvall. Hanya Caan yang disetujui Paramount untuk memerankan Michael Corleone—yang dalam visi Coppola diperankan Al Pacino.

Singkat cerita, Coppola berhasil meyakinkan bos-bosnya. Coppola memang ingin serius menggarap The Godfather. Tak cuma naskah dan deretan pemain yang mendapat sentuhan tangannya, ia juga sempat adu mulut ketika mengusulkan lokasi syuting di Sisilia, Italia. Bukan Coppola jika tak keras kepala. Meski sempat membuat jadwal rilis jadi mundur, Paramount Pictures akhirnya mengabulkan permintaan sang sutradara.

“Aku masih sutradara muda, dulu. Belum mempunyai banyak pengalaman kerja, dan bisa kesempatan untuk menggarap novel ini (The Godfather). Aku sadar, semakin sukses dan populer novel tersebut, semakin besar kesempatanku untuk naik kelas,” kata Coppola dalam The Godfather Legacy: The Untold Story of the Making of the Classic The Godfather Trilogy Featuring Never-Before-Published Production Stills (2005).

“Aku harus bertahan. Semuanya jadi taruhan.”

Hasilnya? The Godfather adalah kesuksesan masif. Dia menjadi film dengan pendapatan paling besar selama tahun 1972 dan masuk dalam daftar film dengan penghasilan terbanyak sepanjang sejarah.

Pada tahun 1973, film tersebut berhasil masuk dalam 11 nominasi Academy Awards dan memenangi beberapa kategori: Film, Naskah Adaptasi, dan Aktor Terbaik. Dia juga memborong sejumlah piala di festival lain, termasuk Golden Globe dan British Academy Film Awards.

Kesuksesan tersebut dilanjutkan dengan membuat sekuelnya: The Godfather Part II (1974) dan The Godfather Part III (1990).

The Godfather 1

Seperti ditulis Santopietro dalam film The Godfather Effect, mahakarya Coppola dan Puzo ini tidak cuma mempengaruhi kultur orang Italia-Amerika, industri sinema Hollywood, dan dunia, tapi juga para mafia. Istilah “godfather” yang berasal dari rekaan Puzo, saat ini diadaptasi bukan cuma oleh masyarakat biasa, tapi juga mereka yang terlibat bisnis mafia.

Salvadore ‘Sammy the Bull’ Gravano adalah bos mafia dari klan Gambino, dalam wawancaranya dengan Jeffrey Goldberg dari The New York Times, sempat tak percaya kalau Puzo cuma mereka-reka belaka kehidupan gangster dalam novelnya itu.

“Enggak mungkin,” kata Gravano. “Pasti ada yang nolong dia (mengarang).”

Saat sedang ditanya Jeffrey kenapa dia begitu yakin kalau Puzo dibantu gangster sungguhan, Gravano menjawab:

“Karena dia tahu bagaimana hidup dingin kami. Dia punya semua atmosfernya, cara kami ngomong. Adegan menikah—maksudku, itu terlalu nyata.”

Puzo mengaku tak dibantu siapa-siapa. Ia memang melakukan riset kecil-kecilan: pergi ke perpustakaan, membaca berita di koran, dan membaca beberapa referensi. Akan tetapi, semua yang dia tulis dalam The Godfather hanya rekaannya belaka.

“Itulah kekuatan sebuah karya seni,” kata Santopietro.

The Shutter Island

The Shutter Island – Di samping kemampuan acting yang jempolan dari aktor Leonardo DiCaprio, kekuatan lain dari film The Shutter Island ini terletak pada cerita yang disajikan sangat apik oleh Martin Scorcese. Tidak salah jika Piala Oscar disematkan pada film yang jika di Indonesia sebenarnya kalah populer ketimbang Avatars. Film tersebut mengambil setting tahun 1954, di tengah suasana perang dingin, ketika teori konspirasi berkuasa di mana-mana.

Diceritakan seorang US Marshall yang bernama Teddy Daniels (diperankan Leonardo DiCaprio) bersama rekannya bernama Chuck Aule (diperankan oleh Mark Rudallo) dikirim ke Shutter Island untuk menyelidiki hilangnya seorang pasien perempuan bernama Rachel Solando (Emily Mortimer) yang pernah menenggelamkan tiga orang anaknya hingga tewas. taruhan bola

Hilangnya pasien tersebut tergolong misterius karena dia menghilang begitu saja dari kamarnya yang terkunci dan mendapatkan pengawasan penuh selama 24 jam. Menurut keterangan kepala rumah sakit (head of psychiatrist) Dr. John Cawley (diperankan Ben Kingsley), Rachel ditetapkan berada di tempat tersebut setelah menenggelamkan tiga anaknya. sbobet365

The Shutter Island

Akan tetapi, hingga berada di sana, Rachel tetap percaya bahwa dia masih berada di rumahnya dan anak-anaknya masih hidup. Pencarian terhadap Rachel dilakukan hingga ke tebing-tebing yang sebenarnya mustahil bisa dijangkau oleh Rachel. Pada saat pencarian itu, Teddy melihat ada goa kecil dan sebuah mercusuar, namun dikatakan oleh pihak keamanan setempat bahwa di mercusuar tersebut telah dilakukan pencarian, namun Rachel masih juga tidak diketemukan. www.americannamedaycalendar.com

Penyelidikan pun dilanjutkan dengan melakukan investigasi pada petugas-petugas rumah sakit yang merawat Rachel. Permintaan Teddy untuk mendapatkan akses terhadap seluruh dokumen personalia rumah sakit ditolah oleh Dr. Cawley. Penolakan ini menyulut kemarahan Teddy yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri penyelidikan dan menulis laporan bahwa pihak rumah sakit menolak bekerjasama dengannya. Teddy memutuskan untuk keluar dari pulau tersebut keesokan harinya.

Rencana kepulangannya terhalang oleh badai yang menyebabkan ferry yang seharusnya mengangkut mereka keluar tidak akan mungkin mendarat ke pulau tersebut. Pada saat tertidur, Teddy mendapati mimpi yang aneh. Istrinya, Dolores, yang telah meninggal hadir dalam mimpi itu. Di dalam mimpinya, Dolores menyatakan bahwa Rachel masih ada di pulau itu, begitu juga dengan Andrew Laeddis, pria yang menyulut api hingga menyebabkan kematian istri dan anak-anak Teddy.

Selain itu, istrinya juga meminta Teddy untuk mengikhlaskan kepergiannya. “Aku hanyalah tulang dalam sebuah kotak,” ujar istrinya. Teddy mengaku sangat mencintai istrinya dan tidak bisa mengikhlaskan kepergiaannya. Mimpi inilah yang menyebabkan Teddy mengubah kembali rencananya. Kepada rekannya, Chuck, Teddy menyatakan selain karena badai yang tidak memungkinkan ada ferry yang merapat di pulau itu untuk beberapa saat, dia juga meyakini bahwa di pulau itu pulalah Andrew Leaddis berada. Teddy memulai pencarian baru yang sama sekali tidak dimengerti maksudnya oleh Chuck.

Khususnya ketika orang yang disebut dengan Rachel Solando ternyata sudah berhasil ditemukan oleh petugas rumah sakit. Pencarian inilah yang secara perlahan mengalihkan persoalan dari Rachel ke dalam diri Teddy sendiri. Perbincangan dengan Dolores, istrinya, yang datang dalam setiap mimpinya membawa Teddy masuk lebih dalam ke dalam persoalan-persoalan yang berada di Shutter Island tersebut. Teddy meyakini bahwa di pulau tersebut terdapat sebuah konspirasi yang dikendalikan oleh kepala rumah sakit yang hendak mengubah pulau tersebut seperti kamp konsentrasi yang dulu dikendalikan oleh Nazi.

Di dalam upayanya memecahkan misteri pulau tersebut, Teddy bertemu dengan George Noyce (diperankan Jackie Earle Haley), mantan rekannya di US Marshall, yang mengatakan bahwa adanya percobaan-percobaan terhadap orang-orang yang ada di pulau tersebut. George juga mengatakan bahwa seluruh “permainan” itu hanyalah untuk keuntungan Teddy dan dia mengaku sangat takut dibawa ke Mercusuar. Pertemuan dengan George semakin menebalkan keinginan Teddy untuk mencari tahu apa yang terjadi di Mercusuar, satu-satunya tempat di pulau itu yang belum bisa dia jelajahi. Pada saat itulah,

Teddy bertemu dengan Rachel Solando yang sebenarnya (diperankan Patricia Clarckson) yang bersembunyi dalam sebuah goa kecil di atas tebing. Dari situ, Teddy mengetahui bahwa Rachel Solando adalah salah seorang dokter yang lari karena menolak penggunaan psychotropic medication yang menurutnya digunakan untuk mengontrol pikiran dari pasien-pasien yang ada di RS tersebut. Pasien-pasien yang sudah dikontrol pikirannya itulah yang kemudian akan digunakan sebagai “sleepers agent” untuk kepentingan Perang Dingin.

Dia juga mengatakan bahwa Teddy telah “diracuni” sejak pertama kali masuk ke pulau tersebut. Hingga segmen ini, penonton seolah mulai mendapatkan titik-terang akan adanya misteri di pulau yang dihuni para pesakitan kejiwaan tersebut. Terlebih ketika adegan-adegan berikutnya menunjukkan bagaimana Teddy berusaha untuk mulai menentang upaya-upaya persuasi yang coba dilakukan petugas-petugas dan dokter-dokter di pulau itu. Teddy pun berhasil menjangkau Mercusuar yang berada di sebuah pulau karang kecil dekat pulau utama. Namun, Martin Scorsese selaku sutradara ternyata tidak begitu saja pikiran penonton bermain dengan logika sebagaimana dalam film-film misteri yang biasa ditonton.

Pada saat berada di Mercusuar itulah Martin Scorcese membuka tabir misteri yang sebenarnya. Diceritakan Teddy telah berhasil masuk ke Mercusuar dan mencari tempat-tempat yang menurut George dan Rachel menjadi tempat dilaksanakannya eksperimen manusia. Namun yang ditemui di Mercusuar itu justru Dr. John Cawley yang mengonfrontasi semua pengetahuan dan keyakinan-keyakinan Teddy. Dr. Cawley membenarkan kalau Teddy adalah US Marshall.

Dia juga mengatakan bahwa semua yang disampaikan Teddy hanyalah rekaannya sendiri. Teddy Daniels sebenarnya bukan Teddy Daniels, melainkan Andrew Leaddis. Artinya, tokoh yang selama ini dia cari-cari, yang telah membunuh anak dan istrinya, sebenarnya tidak lain dari dirinya sendiri. Rachel, perempuan yang menenggelamkan tiga orang anaknya, tidak lain dari istrinya sendiri yang pada akhirnya tewas ditembak oleh Teddy alias Andrew. Dan yang paling penting (setidaknya menurut saya), Teddy Daniels atau Andrew Leaddis adalah salah-seorang pasien di pulau tersebut. Keterangan Cawley diperkuat oleh Dr Sheehan, orang yang selama ini dia panggil Chuck Aule, rekannya sesame US Marshall.

Dalam keadaan ketika seluruh keyakinannya dikontrontir dengan omongan dan data-data yang disodorkan Dr. Cawley, ingatan Andrew pun kembali dan dia mulai berdamai dengan masa lalunya. Akan tetapi, hal itu tidak bertahan lama. Andrew kembali menjadi Teddy dan memaksa Cawley untuk melakukan operasi lobotomy—menghapuskan ingatan—Andrew melalui sebuah operasi otak. Sebelum operasi dilaksanakan Teddy alias Andrew bertanya kepada Dr. Sheehan yang masih dia panggil dengan sebutan “Chuck”, mana yang lebih buruk, hidup sebagai monster atau mati sebagai orang baik.

Tidak ada jawaban yang jelas pada saat ending. Film ditutup dengan gambaran tentang mercusuar. *** Bagi anda pembaca Michel Foucault, barangkali tidak terlalu sulit untuk memahami jalan cerita yang tertuang dalam film the Shutter Island. Film ini menceritakan tentang sebuah pulau kecil di tengah lautan yang menjadi karantina bagi narapidana-narapidana yang melakukan tindakan kriminal berat yang juga memiliki problem-problem kejiwaan yang tidak kalah berat.

Pulau tersebut adalah penjara sekaligus rumah-sakit, yang mana narapidana (prisoner) di dalamnya adalah juga pasien yang mendapatkan perawatan intensif untuk memulihkan kondisi kejiwaannya sehingga bisa kembali ke masyarakat. Meski saya bukan pembaca Foucault yang tekun, namun ketika menonton film ini, sungguh saya diingatkan kembali pada Discipline and Punish: The Birth of the Prison, buku ditulis Foucault yang terbit tahun 1975. Kaitan antara film ini dengan Foucault—sebatas pengetahuan saya yang seadanya—adalah konsepsi penjara yang tidak seperti penjara dalam pengertian konvensional sebagai tempat pemberian hukuman, bukan sebagai tempat pemasyarakatan.

The Shutter Island 1

Menurut Foucault, penjara adalah salah satu bentuk “disiplin”, sebuah teknologi kekuasaan baru, yang sebenarnya bisa ditemukan di sekolah, rumah sakit, barak-barak militer, dan tempat-tempat lainnya. Namun pembentukkan disiplin tersebut tidak selamanya bisa dilaksanakan dengan kekuasaan atau pemaksaan kekuasaan, melainkan dengan secara konstan melakukan penyelidikan dan merekam setiap badan yang hendak dibentuk serta dengan mendorong terjadinya proses internalisasi disiplin atas badan-badan yang tengah dikontrol.

Proses ini membutuhkan sebuah institusi yang khusus, yang menurut Foucault, dicontohkan dengan model penjara panoptic yang digagas oleh Jeremy Bentham pada abad ke-18. Uniknya, gambaran penjara seperti itu sempat terlihat saat adegan Andrew alias Teddy bertemu dengan George. Gagasan tentang bagaimana memberikan “kesempatan kedua” bagi mereka yang secara konvensional dikatakan sebagai kriminal inilah yang saya duga melatari Film yang diadaptasi dari Novel berjudul The Shutter Island ditulis Dennis Lehane yang terbit tahun 2003.

Saya ingin bicara lebih banyak tentang bagaimana pengaruh Foucault dalam film ini, namun sayangnya saya bukanlah pembaca Foucault yang baik. PS: Secara pribadi, saya tidak berani menyetujui gagasan Foucault tentang Panoptic Society sebagai gagasan ideal untuk masyarakat yang memiliki disiplin padu dan selaras dengan perkembangan ekonomi baru, sebab dalam berbagai pengalaman, gagasan ini bisa menjadi suatu konsepsi yang “mematikan”, ketika dalam penerapannya, konsepsi panoptik bisa membuat setiap individu selalu merasa diawasi, tertekan karena tidak bisa berbuat atau bahkan berpikir di luar perbuatan atau pakem pemikiran yang ditentukan.